Published :
More INA magazine - April 2013
|
KM.Lambelu |
Perjalanan bukan berarti pelarian. Perjalanan adalah sebuah
proses pengenalan, dan pembelajaran untuk saling mengenal dan memahami
perbedaan satu sama lain. Yang penting bukan akhir dari sebuah perjalanan tapi
proses menuju akhir dari sebuah perjalanan.
Perjalananku ini seperti mimpi yang terwujud di siang
bolong. Sudah lama saya ingin ke Wakatobi. Tawaran mendadak H-5 untuk segera
menuju Wakatobi untuk kepentingan liputan tanpa pikir dua kali langsung saya
terima. Ada syaratnya ternyata, menggunakan kapal PELNI yang menempuh 3 hari
perjalanan. Saya diijinkan untuk mengajak salah seorang teman untuk ikut kali
ini. Baiklah, lets pack and go !
|
Puas melihat Sunset diatas KM.Lambelu |
|
Fasilitas kelas 1 di KM.Lambelu |
Tiket kapal PELNI sudah ditangan, saya dan rekan saya Riri
yang ikut menemani kali ini, sibuk menerka seperti apa rasanya naik kapal
PELNI. Dan ini pengalaman kali pertama kami.
KM.Lambelu, adalah nama kapal PELNI yang akan kami tumpangi,
memiliki rute : Jakarta – Surabaya – Makassar – Bau Bau – Namlea – Ambon –
Ternate – Bitung – Kijang. Kapal KM.Lambelu merupakan Kapal buatan Jerman tahun
1979. Dan pertama kali berlayar di tahun
1996. Kami mendapatkan fasilitas
kelas 1A, antara lain : Kamar full AC sharing 2 person, 2 Lemari, Meja kerja,
TV Kabel, Kamar Mandi dalam, Hot water,
Makan selama perjalanan 3x sehari.
Pukul 18.00 WIB kami berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta dan diperkirakan sampai di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya esok sore.
Terbesit ide untuk memanfaatkan waktu transit kapal dengan
berkeliling beberapa lokasi di tiap kota transit. Meski dengan resiko
tertinggal kapal, kami harus coba hal baru. Setelah meminta konfirmasi mengenai
pukul berapa kapal ini akan kembali berangkat, dan bertukar nomor telepon
dengan bagian informasi kapal, mereka mengijinkan kami untuk turun dari kapal.
Kami hanya memiliki waktu 2 jam berada di Surabaya. Apa..??!!
Beruntungnya, saya berhasil menghubungi kawan saya yang
berada di Surabaya, dan kebetulan bisa menemani saya dan Riri untuk mulai
berkeliling. Tapi apa ini..?. Untuk turun dari kapal saja membutuhkan waktu
hampir 45 menit, dikarenakan kami juga berlomba dengan para penumpang yang
berebutan menaiki kapal dengan membawa barang bawaan yang lumayan besar. Tapi
harus tetap dicoba.
Kami sampai di Surabaya pukul 19.00, dan berencana ingin
mencicipi salah satu kuliner khas kota Pahlawan tersebut.
|
Selalu ramai pembeli |
|
Selamat makannn... |
Bebek Goreng samping Tugu Pahlawan, kalau melihat antrian panjang
di kedai sederhana ini, langsung terjawab bagaimana rasa dari kuliner tersebut.
Ini kali pertama saya mencicipi kuliner tersebut. Daging bebeknya empuk, tidak
bau, sekalipun digoreng tidak terlalu kering. Semakin nikmat dengan sambal
terasi khas Surabaya, nasi putih hangat. Dan tidak boleh ketinggalan, Es Degan.
Tapi, kami tidak boleh terlalu lama disini. Kami harus segera kembali ke kapal
yang sudah membunyikan peluit sebanyak 2 kali, pertanda kapal akan segera
mengangkat jangkarnya dan melanjutkan perjalanannya menuju Makasar. Nyaris
saja.
Selesai sarapan, kami mendatangi ruangan Dek 8 tempat sang
kapten Kapal bertugas. Bisa dipastikan banyak sekali alat navigasi super
canggih yang berada di ruangan ini. Sebut saja Smoke detector, yang memiliki
fungsi mendeteksi asap rokok dari semua ruangan yang ada di KM.Lambelu ini.
Menurut penuturan sang kapten, hampir 80% kebakaran yang terjadi dalam kapal
laut, disebabkan oleh para penumpang yang melanggar ketentuan mengenai bahaya
asap rokok
|
Smoke Detector& Water Detector |
Di kapal ini satu satunya ruangan tempat diperbolehkannya merokok
adalah di dek luar. Selain pendekteksi asap, juga terdapat Water Detector yang
mendeteksi penggunaan air diatas kapal ini, bisa dibayangkan kalau tiba-tiba
ditengah lautan seluruh penumpang kehabisan air bersih ?.
Dari atas dek ini kami bisa memandang samudera, biru seperti
tiada berujung. Sesekali burung laut terlihat terbang rendah, berusaha
menangkap ikan buruannya. ‘Git, kita jalan-jalan ke dek 3 yuk. Ada movie
theatre disana’. Ajakan Riri, menghentikan lamunanku. Kapal ini memang dibuat
senyaman mungkin bagi para penumpangnya, tak hanya movie theatre yang
disediakan, tapi bagi anak-anak juga disediakan Odong odong dan Playstation. Meski
terkesan sederhana, tetapi fasilitas ini cukup membuang kejenuhan selama
berhari-hari berada didalam kapal.
Dek 3 dan Dek 4 disiapkan untuk kelas 2, 3 dan Ekonomi. Di
Dek ini, kita bisa melihat bagaimana sebenarnya masyarakat Indonesia. Berbeda
latar belakang, berbeda suku, ras dan budaya, serta bahasa tapi bisa
berdampingan dan harmonis. Yang satu berdialek Ambon, yang lain Jawa.
Menyenangkan.
Menikmati sebuah perjalanan adalah proses penting mencapai
sebuah kebahagiaan.
Duduk di teras dek kapal, sambil memperhatikan orang yang
lalu lalang, menikmati segelas kopi, suara ombak, dan tiupan angin laut.
Pejamkan mata. Semakin lengkap oleh hadirnya senja merah yang telah kami
tunggu, penanda mimpi dan harapan kami sebelumnya sudah tersampaikan kepada
sang pencipta. Malam segera tiba.
|
Biru |
Jadi teringat salah satu scene difilm favorit saya “Titanic”,
saat Kate Winslet berdiri diujung kapal dan berteriak: “ I can fly”, dan
Leonardo DiCaprio berada di belakangnya sambil menjawab : “ You jump, I jump”.
“Git, nonton live music yuk” , ajakan Riri membuyarkan lamunan saya.
Malam ini kami memutuskan untuk menikmati live music di
restoran yang terdapat di KM.Lambelu. Fasilitas ini bisa dinikmati oleh
penumpang kelas satu dan dua. Suara merdu sang penyanyi mengingatkan saya
kepada suara Vina Panduwinata, tetapi yang ini memiliki versi Ambon Manise.
“Burung camar..tinggi melayang, bersahutan dibalik awan...”
|
Restoran yang ada di Dek 6, khusus untuk penumpang kelas 1 dan 2 |
Esok kami akan tiba di Bau-bau, kota persinggahan sebelum
menuju Wakatobi. Kira-kira ada apa cerita apalagi ya ?
Tak sabar kami menunggu hingga esok tiba.
WAKATOBI, SEJUTA CERITA DI BALIK
KEINDAHANNYA
Wakatobi terletak di daerah jazirah Tenggara Pulau Sulawesi,
dulu kepulauan ini disebut sebagai Kepulauan Tukang Besi. Diapit oleh Laut
Banda, dan Laut Flores serta berada di Pusat Kawasan Segitiga Karang Dunia
(Coral Triangle Center) merupakan alasan wilayah ini mempunyai potensi sumber
daya keragaman hayati kelautan dan perikanan yang cukup besar.
Wakatobi
merupakan gugusan 4 pulau besar yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko
serta sekitar 138 pulau kecil di sekitarnya. Harus diving disini ..
Kami tiba di tepatnya di Pelabuhan Al Murhum Bau-Bau pukul 18.45,
tepat sekitar 2 jam sebelum kapal kayu yang akan membawa kami ke Wangi-Wangi,
ibukota dari Wakatobi berangkat. Tiket kapal seharga : Rp.153.000/orang untuk
fasilitas room (kamar) yang kami sewa dari ABK, dan Rp.103.000/orang untuk yang
deck.
Esok paginya, sunrise yang kami tunggu muncul. Berbeda dengan
saat kami di atas kapal PELNI, sunrise kami kali ini memiliki latar belakang
Pulau Tomia, dan Binongko. Ah, inilah salah satu alasan kami menaiki kapal kayu
ini. Pukul 07.00 kami tiba di Pelabuhan, dan sudah dijemput oleh pihak
resort.
|
Hello world ! |
Menginap di salah satu Resort terbaik di Indonesia
Lokasi kami menginap adalah di Patuno Resort Wakatobi, salah satu
resort terbaik yang berada di Wakatobi.
Patuno Resort sendiri berada di Desa Patuno, kelurahan Waetuno.
Masyarakat di desa ini, mayoritas beragama Muslim dan bermata pencaharian
selain sebagai nelayan juga berkebun. Sepanjang perjalanan, pemandangan yang
tersaji adalah pasir putih, dan deretan pohon kelapa yang menjulang tinggi, dan
perbukitan hijau.
|
Selamat datang di Patuno Resort |
|
Deluxe room |
|
Temapt favorit saya di Patuno Resort |
|
Mau sunbathing ? |
|
Ruang Restoran |
|
Pasir putih sepanjang lokasi |
Resort ini memiliki beberapa tipe kamar, salah satunya tipe
Deluxe yang kami tempati. Bangunannya berbentuk rumah panggung khas Suku Bajo,
berbahan dasar kayu. Memiliki dua tempat tidur, satu kamar mandi dalam, full
Ac,
Sepanjang perjalanan, guide kami bercerita mengenai beberapa
lokasi wisata yang wajib dikunjungi. Siang ini, kami putuskan untuk berkeliling
sekitaran Desa Patuno, dan beberapa lokasi lain. Esok hari kami baru berencana
diving.
Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Puncak Waginopo, terletak
di Desa Waginopo, kecamatan Wangi Wangi. Dari sini kita bisa menikmati
pemandangan alam sekitar Wagi Wangi, dan dari jauh tampak Pulau Kapota. Lalu
kami berjalan kaki menyusuri Desa Liya, tidak jauh dari lokasi pertama. Didesa ini
aktivitas banyak dilakukan oleh kaum perempuan, salah satunya adalah membuat
Kasuami. Kasuami adalah penganan yang terbuat dari singkong yang telah diparut,
dan dibuang airnya lalu dikukus. Selain membuat penganan yang akan dinikmati
bersama keluarga dan para tetangga, mereka juga menganyam kukusan yang nantinya
dijual di pasar.
|
Benteng Liya Togo |
Melanjutkan perjalanan sampailah di sebuah lokasi benteng
yang bernama Benteng Liya Togo. Benteng ini merupakan salah satu dari kompleks
benteng pertahanan yang dimiliki Kesultanan Buton, salah satu kerajaan maritim
di Sulawesi Tenggara yang berjaya di abad 16 – 17. Dibangun pada masa Syekh
Abdul Wahid di tahun 1538, didalamnya juga terdapat Masjid Krato Liya, salah
satu masjid tertua di Sulawesi.
|
Telaga Gua Kontamale |
Guide kami juga sempat bercerita mengenai Telaga gua yang
berada di Kota Wangi Wangi. Berhenti dipinggir jalan kami berfikir mungkin kami
harus trekking terlebih dahulu.
Ah, ternyata lokasinya benar benar dipinggir
jalan besar. Saat kami kesini, ada beberapa ibu-ibu yang sedang mencuci pakaian
di telaga tersebut.
Anak anak berlomba
melompat dari atas bebatuan, ke telaga yang airnya berwarna kebiruan. Telaga
Gua yang pertama kami datangi adalah Telaga Gua Te’ekosapi yang terletak di
Kecamatan Wangi Wangi. Disini relatif lebih sepi dibanding lokasi yang kedua
yaitu Telaga Gua Kontamale. Saya sempat melihat penyu berseliweran disini, dan
Ikan Pari yang sedang bersembunyi dibalik karang.
|
Bajo Kids |
|
Rumah suku Bajo |
Perjalanan kami lanjutkan ke Suku Bajo di Desa Mola. Suku
Bajo dikenal sebagai pelaut yang tangguh. Sebagian warga Suku Bajo di Desa Mola
tidak lagi hidup di laut. Mereka sudah tinggal didalam rumah berdinding batu
bata dan beratap seng. Tetapi, bila berjalan agak ke barat, kita masih bisa melihat
beberapa rumah yang berdiri diatas laut. Sayang, sewaktu kami kesana keadaan laut
sedang surut, jadi tidak tampak aktivitas banyak dari warga disana.
|
Senja |
|
Temaram |
Kami memutuskan untuk menunggu sunset di dermaga Sambo
jetty, sebuah pabrik pengolahan es di Desa Wanci. Yang esok akan menjadi salah
satu dive site kami. Sunset disini sangat menyenangkan untuk dilihat, sebagai
seorang sunset hunter, moment ini adalah yang paling saya tunggu. Terlebih
menunggu waktu untuk kami diving esok hari.
DIVING, DIVING , DIVING
Sesuai jadwal, pagi ini kami memutuskan untuk diving di
sekitaran Pulau Wangi Wangi. Ada beberapa dive site disini antara lain : Karang
Gurita, Tanjung Kapota, Sombu Site, dan masih banyak lagi. Kami hanya memiliki
kesempatan mencoba sekitar 4 dive site. Sombu Jetty menjadi site pertama kami.
Dengan tipikal bawah laut Drop Off, tenang tanpa arus memungkinkan bagi para
penyelam pemula untuk mencoba site ini.
Bagi yang ingin mencoba discovery dive, Patuno resort juga
menyediakan Instruktur bersertifikasi untuk menjadi guide selama kita menyelam.
Kami juga menyempatkan diri melihat penenun kain khas
Wakatobi di sekitar resort ini. Alat tenunnya yang disebut Homuru’a
menghasilkan warna dan corak yang berbeda satu sama lain. Bila coraknya kotak kotak disebut Paleka dan
biasa digunakan oleh kaum lelaki, untuk wanita bercorak garis-garis dan disebut
Leja.
Kedua pakaian ini wajib digunakan pada saat kegiatan Karia
atau upacara akil baligh, dan Kabuenga. Kabuenga itu adalah upacara adat
kejayaan atau keberhasilan yang identik dengan muda mudi. Biasa disebut juga
dengan ajang mencari jodoh bagi mereka. Sekali lagi sayang, 2 hari sebelum kami
tiba di Wangi Wangi, upacara adat ini baru berlangsung.
|
sang penenun kain |
|
Corak kain khas Wakatobi |
Malam sebelum esok pagi kami harus meninggalkan Wakatobi,
kami disuguhi berbagai macam kuliner khas dari Wakatobi. Selain Kasuami dan
Kasuami pepe’, kami juga mencicipi Kambalu, penganan yang terbuat dari talas
dan santan kelapa yang dibungkus dengan daun kelapa dan dikukus. Ada juga Ayam
Sira’ potongan ayam yang kuahnya seperti opor, tetapi diberi parutan kelapa
muda. Yang terakhir dan menjadi favorit saya adalah Ikan Parende’, seperti sop
ikan tetapi kuahnya berwarna kuning karena diberi kunyit.
|
Kasuami, penganan wajib bila kita bertandang ke Wakatobi |
|
Kasuami Pepe' |
|
Ayam Sira |
|
Kambalu |
TIPS :
-
Transportasi lain yang bisa digunakan yaitu :
- Menggunakan pesawat :
Jakarta – Kendari selama empat jam, dilanjutkan Kendari – Wakatobi
menggunakan Express Air, selama 20 – 30 menit yang akan mendarat di
Bandara Matohara di Wangi-Wangi. Kalau kita sudah memesan hotel di
Wanci/Wangi-Wangi mereka akan menjemput kita di airport.
- Menggunakan speed boat
(Cantika Express Boat) dari Bau-Bau selama empat jam, setiap hari. Dengan
harga tiket : Ekonomi Rp.155.000/org, dan VIP Rp.205.000/org
-
Pastikan saat anda membeli Tiket Pelni anda
mencatat dengan baik jadwal mereka berlabuh dan sandar di kota tujuan. Lebih
baik percepat 1 jam untuk keberangkatan, dan perlambat 1 jam untuk kedatangan
di kota tujuan.
-
Jangan menyulitkan diri sendiri dengan membawa
barang terlalu banyak dan besar besar. Kapal Pelni tidak memiliki fasilitas
bagasi, kalau pun kita menggunakan porter kita harus terus berada mengawasi
porter tersebut demi keamanan barang – barang kita.
-
Wajib. Bawalah makanan kecil, harga snack
ataupun makanan berat di kapal berbeda sekitar 30% daripada kita membelinya saat di toko.
-
Patuhi semua instruksi dari awak buah kapal,
terutama mengenai rokok, air, dan listrik.
-
Terakhir, menaiki Kapal Pelni membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk mencapai tujuan. Pastikan waktu, dan uang anda cukup
selama berada di atas kapal. Kalau anda tipe yang gampang jenuh, lebih baik
urungkan niat untuk bepergian menggunakan kapal laut.
-
Happy traveling !