If you see a footprint in the road, it means someone has been there before you, and there's something to be learned from that person's life and that person's story.

Kamis, 24 Januari 2013

Di Bawah Kaki Merapi, kami belajar mandiri


Di Bawah kaki Merapi, kami mandiri
Pukul 08.00 kami berkumpul untuk mengikuti kegiatan Eruption Tour dari Wisata CEDEP.  Yang kali ini memilih Desa Ngargomulyo yang bertempat di Magelang sebagai destinasinya. Wisata CEDEP itu merupakan akronim dari Culture Education Development Exposure Program. Salah satu bidang yang dulu saya pernah kerjakan. 

Sebelum menuju Desa ini, kami mampir terlebih dahulu ke Warung Makan Lombok Ijo yang memiliki menu special antara lain : Beras Merah Organik, Ayam Bakar Bacem, Daun Pepaya tumis dll.
Menu di Warung Makan Lombok Ijo
 Selesai menikmati menu menu tersebut, perjalanan dilanjutkan menuju Museum Merapi. Dengan membayar Rp.8.000/orang, kami sudah bisa berkeliling museum Merapi, dan melihat pertunjukan film yang diputar di Museum ini, dengan judul “Di Bawah Kaki Merapi”. Film ini sendiri berisi informasi mengenai ke Gunung Merapian. Mulai dari kejadian Pra, dan Pasca erupsi Merapi dari tahun ke tahun.
Museum Merapi

Didirikan tahun 2004, dan sempat ditutup karena Erupsi akhirnya kembali dibuka di tahun 2011, Museum in imemiliki segala informasi mengenai ke Gunung Merapian. Meskipun keadaan plafon dari Museum ini banyak yang berlubang, karena dampak erupsi 2010 yang lalu, tetap saja Museum ini ramai dikunjungi pengunjung.
Sungai Blongkeng, penyokong kehidupan warga desa
Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang adalah  salah satu Desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Merapi. Desa  yang berketinggian 735-900 mdpl ini adalah salah satu kawasan di lereng barat Merapi yang masih baik kondisi hutannya .  Meski hutan-hutan di desa lain di kawasan lereng barat banyak yang rusak karena pertambangan namun desa ini memiliki tekad untuk tetap mempertahankan kondisi hutan yang 
mereka miliki.

 

Desa ini termasuk desa yang kecil dengan 11 dusun. Dusun tersebut adalah Sabrang, Kembang, Tanen, Batur Ngisor, Batur Nduwur, Gemer, Tangkil, Ngandong, Karanganyar, dan Bojong. Hutan ini merupakan daerah tangkapan air yang penting di Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo, salah satunya adalah Sungai Blongkeng. Ketersediaan air yang melimpah sangat mendukung kegiatan pertanian di desa ini. Dengan jumlah penduduk sekitar 2.381 jiwa, hampir 90% nya adalah petani. Pertanian yang di kembangkan di daerah ini adalah persawahan basah dengan komoditas utama tanaman  padi. Disamping menanam padi mereka juga mengembangkan tanaman tegalan dengan jenis sayuran cabe, kubis, sawi, buncis, dan lain-lain. Sebagian petani ini masih mempertahankan pola pertanian tradisional dengan sistem pertanian organik.
Biogas yang berasal dari kotoran ternak warga Dusun Gemer
Tak hanya itu, desa ini pula memiliki BIOGAS, bahkan mereka mengklaim desa mereka sebagai desa pertama di Magelang yang memiliki BIOGAS
Biogas ini sendiri dihasilkan oleh ternak mereka, yang dominan memiliki ternak sapi. Penggunaan BIOGAS bagi kehidupan sehari hari dirasa cukup membantu warga sekitar untuk memasak, atau aktivitas lain. Masyarakat Ngargomulyo yang sederhana  juga masih memiliki semangat gotong royong yang tinggi. Budaya sambatan(gotong-royong)  adalah salah satunya. 

Ketika sebuah keluarga membangun rumah maka para tetangga secara sukarela turut membantu.
Ngargomulyo  juga kaya akan kesenian daerah. Kesenian  yang telah mengakar antara lain Jantilan, Reog, Karawitan, Jaelantur, Angguk, Cakar lele, kuda lumping, topeng ireng dan lain-lain.
Kebetulan pada saat kedatangan kami disana, disambut oleh Jathilan yang berjudul Ponorogo. Dimainkan oleh 8 orang lelaki dewasa, yang menari diatas kuda lumping terlihat begitu  semangat, meskipun matahari sedang terik bersinar. 
Jathilan, salah satu kesenian warisan Nusantara
Ada satu momen unik disini.Entah darimana asalnya, aroma kemenyan begitu kuat menusuk hidung, tak maksud mencari darimana, kami berusaha menikmati sajian kesenian dari desa ini.               
Makan siang kami pun, menggunakan makanan khas Desa Ngargomulyo, Soto Kampung. Begitu mereka menamai makanan tersebut. Isian soto tersebut, ada wortel kukus, telur, dan pootongan daging ayam. Sesuai bentuknya, kuliner ini wajib dinikmati bagi para pelancong yang datang ke desa ini. 
Tak cukup hanya disitu, malam harinya kami diajak untuk menikmati kegiatan Karawitan. Bila ditanya, sudah sejak kapan, para pelaku kegiatan ini mengaku sudah sejak nenek buyut, mereka diwariskan kegiatan ini. Cukup malu, bagi saya bila melihat mereka yang sedang berlatih giat dimalam hari, sebagian besar adalah para manula dan hebatnya mereka rela pulang larut malam demi kegiatan ini. 
Gamelan yang telah dimainkan selama turun menurun
Sambil mendengarkan 3 tembang berturut turut bahkan kami ikut belajar, lebih tepatnya mungkin merecoki kelompok Karawitan ini. Lirik jam tangan, sudah pukul 10 malam. Kami harus segera bergegas kembali ke penginapan masing masing dan beristirahat.
Subhanallah..
Paginya kami memutuskan untuk memulai trekking  menuju Jurang Njero. Terletak di kawasan Taman Nasional  Gunung  Merapi, lokasi ini dulunya adalah lokasi bendungan yang berbentuk seperti Jurang, setelah terjadi erupsi lokasi ini menyisakan batu batuan besar, serta bentuk jurang yang semakin dalam dan berbatu. Tapi menghasilkan pemandangan fotografis yang menakjubkan, di apit oleh Gunung Merapi  dan Gunung Merbabu.

Dulu di lokasi ini terdapat sebuah prasasti yang ditandatangani oleh Alm. Bp. Soeharto, yang menandakan bahwa Bendungan ini telah selesai dibangun. Tetapi, sekarang prasasti ini hanya berupa batuan saja, karena tanda tangan yang asli sudah dipindahkan ke museum di Jogja. 
Prasasti oh Prasasti..
Bagi yang suka dengan fotografi view landscape dari sini cukup menggiurkan. Cukup menggoda bukan?.
Selesai mengunjungi lokasi ini, kami kembali menuju penginapan melalui jalur yang berbeda pada saat kami datang.  Jalur kami berakhir di Sungai Blongkeng, sambil diajak memetik selada air, dan menikmati segarnya udara serta air yang berasal dari pegunungan yang mengalir di kaki kami.
Perjalanan pun diakhiri sampai sini, kami kembali ke penginapan untuk selanjutnya menuju Jakarta
Sungguh suatu liburan yang bukan hanya berwisata tapi juga mengedukasi orang lain untuk belajar mengenai pengalaman mengatasi bencana erupsi, dan bagaimana sebuah kelompok masyarakat bisa menginspirasi kita untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Selalu ada hikmah dibalik semua kejadian kan?

Bersama warga lokal, tempat kami menginap semalam

Patuno Resort Wakatobi



Senyum ramah sang resepsionis
Tenang,  dan menyenangkan. Begitulah kesan saya pertama kali mengunjungi Patuno Resort Wakatobi.

Resort ini berada di Desa Patuno, Wangi wangi. Memiliki desain yang unik berupa rumah panggung, yang terbuat dari kayu kelapa dan jati pohon, mengadaptasi dari rumah Suku Bajo, tutur Roy Patigu Manager Head Office Patuno Resort.
Restoran yang terletak di tengah resort
Kita tidak hanya dimanjakan dengan desain dan kenyamanan yang ditawarkan oleh resort ini, tetapi kita juga bisa mencicipi menu makanan lokal dan khas dari daerah Wakatobi. Sebut saja, Ikan Parende’, Hellua Sirah, Kasuami, Luluta, dan beberapa menu lain yang wajib dicoba. Dari sekian banyak menu khas yang disajikan, saya sangat tertarik sekali mencicipi Kasuami Pepe'. Makanan ini, cara pembuatannya sama dengan Kasuami, yang membedakan hanyalah pada sentuhan terkahir sang juru masak memberikan bawang goreng cincang sebagai tambahan perasa alami makanan ini.
Kasuami

Hellua Sirah
Ikan Parende'
Ini Deluxe Room lho ..
Ke Wakatobi gak diving, rugi. Gak punya license ?. Tidak perlu khawatir, di resort ini, siapapun bisa mencoba program Discovery Dive, ada juga Diving package termasuk Night Dive. 

Memiliki instruktur dan Dive Master dari PADI membuat kita merasa aman mengikuti paket ini. Rate yang ditawarkan Rp.400.000/dive (certified divers) , dan Rp.550.000/ (non certified divers)
Boat khusus diving
Selain diving, kamu juga bisa mencoba mengikuti program Land Tour. Pengunjung hotel diajak untuk mengenal kehidupan masyarakat lokal sekitar Patuno Resort. Mulai dari mengunjungi Desa Liya, yang dikelilingi oleh Benteng Liya, salah satu benteng terusan dari Kerajaan / Kesultanan Buton pada masanya. Mengunjungi Mata Air Tekosapi, Mata Air Kontamale, melihat uniknya Suku Bajo yang berada di Perkampungan Mola, dan diakhir perjalanan kita akan diajak untuk hunting sunset di Dermaga Sombu.  Pengalaman yang mengesankan.
Resort ini memiliki 5 kamar type VIP, dan 28 kamar type Deluxe  yang masing masing cocok untuk keluarga, teman, dan mereka yang ingin berbulan madu di Wakatobi. Rate antara Rp.575.000/night – Rp.1.725.000/night

Salah satu keindahan bawah laut dari Wakatobi 
What a great dive !!
Saat ini sudah ada beberapa maskapai penerbangan yang memiliki rute penerbangan menuju Wanci, pintu masuk menuju Wakatobi. So, what are you waiting for. Just pack and go. Crew dari Patuno resort siap membuat acara liburan kamu di Wakatobi lebih berkesan.

For more information :